Saturday, June 26, 2010

Scholarship Interview Tips

Scholarship Interview Tips


I hope that these tips helps you prepare for your interview.

I found this a peace of paper in the dirty box but it's very useful I think.

1. Arrive on time
2. Monitor your body language
3. Monitor your speech
4. Prepare interview answers
5. Dress appropriately
6. Make eye contact
7. Practice your interview skliss with a friend
8. Valunteer information
9. Be prepared with a good close
10. Some "Don'ts'

I will make clear of these on the next explanation next. So keep notice this blog.

Thanks, Hallo student

Wednesday, June 23, 2010

Poem

Poem

Life is short
Break the rules!
Forgive quickly!
Kiss slowly!
Love truly,
Laugh uncontrollably
And never regret anything that made you smile.


Lynne Dove

Tuesday, June 22, 2010

Branch

Branch
Oleh: Yudi
Surabaya, 1 Maret 2008 jam 14.47


Aduh hujan gerimis perut lapar lagi. Sehabis tidur-tiduran sambil dengerin radio lalu aku sholat dhuhur. Setelah beberapa saat aku putuskan untuk pergi lunch oh branch sih alias breakfast and lunch soalnya tadi pagi juga belum makan. Lalu pergilah aku keluar rumah dan mengarah ke pasar yang baru saja kukut. Aku berjalan kaki memakai sandal jepit dan celana pendek yang agak sobek bagian bawahnya dipadu dengan kaos olahraga dari kampusku.
Searah dengan jalanku, ada dua orang cewek berbaju seragam putih abu-abu. Aku melihat mereka baru keluar dari rental komputer. Aku jadi teringat saat usaha komputerku masih jalan. Yang sering dikunjungi anak-anak berseragam tersebut. Aku berjalan saja di belakangnya. Secara dia berjalan sekitar satu setengah meter di depanku, terpaksa dan senang hati aku amati bentuk tubuhnya dari belakang. Yang paling menonjol adalah bentuk ‘bemper’ yang bulat padat dibungkus dengan seragam abu-abu yang agak ketat dan diturunin sampai bawah pinggul (model sekarang) serta baju putih yang juga sedikit ketat dan garis bra-nya terlihat yang tanpa dilindungi kaos dalaman. Begitupula dengan cewek satunya. Tapi yang satunya ini tidak terlalu cantik. Dan tentunya saat aku menyalipnya aku sempatkan barang 3-4 detik untuk melirik ‘buah apukat’ yang dibungkus bra yang sepertinya berwarna putih dan terlihat padat juga. Aduh kataku…godaan ini!
Dia ngobrol aja berdua sambil berjalan di bawah rintik-rintik hujan yang menghiasi permukaan aspal. Tepat di ujung gapura gang, aku menyalipnya dan cewek yang cantik itu bercanda dengan suara keras dan aku menolehnya. Bukan kaget dengan suaranya, cuma aku pingin memastikan wajah dan kepadatan ‘buah apukat’ dari dekat. Lumayan juga sih anaknya dan kelihatannya bukan gadis yang ‘lugu’ hahaha…bercanda, maklum aku baru saja diputus pacarku dan ditinggal kawin, jadi agak ngeres dikit. Tidak apa-apa yang penting masih bisa rasional menjalani hidup.
Setelah aku menyalipnya dengan lagak cuek berpisahlah kita di ujung gang. Aku ke kiri dan ia ke kanan. Aku menoleh kanan kiri melihat mana ada warung buka yang murah ini. Yach ngiritlah. Walau ada uang lima puluh ribu di dompet tapi kan uang pinjaman. Aku cari nasi yang tiga ribu-an. Wah di seberang jalan warung yang biasanya aku cangkruk dengan anak-anak udah buka, tapi nasi bungkusnya udah datang belum yach…? tanyaku sendiri. Lalu aku melihat warung beratap terpal biru, rombong berukuran setengah kali satu meter, dengan satu kursi yang panjangnya satu meter tiga puluh sentimenter serta dengan ibu warung dengan senyumnya yang khas mirip tetanggaku yang beberapa minggu lalu pergi ke Malaysia menjadi TKI masih buka.
Warung ini langgananku. Ia buka dari pagi dan kukut paling terakhir diantara teman-temannya, ya sekitar jam dua-an baru tutup. Bentuk warung dan menunya sangat sederhana. Dadar telur, tahu dan tempe goreng, serta sambal pedas yang terasi dan tomatnya sangat terasa. Warnanya sangat merah. Maklum dulu aku tiap hari menyambal, jadi yach sedikit pengalaman-lah. Kadang ada menu tambahan. Seperti sayur lodeh bung (pangkal pohon bambu mudah), lodeh kacang campur tempe. Ya itu aja. Dan pastinya krupuk. Oh ya, ada lagi terong goreng. Sederhana tapi enak sekali. Enak, karena nasinya banyak kali yach…haha…cocok sama anak kos-kosan dan tukang becak. Anak kos-kosanpun kayaknya hanya yang melarat seperti aku ini haha…soalnya gak pernah lihat sih anak muda yang makan situ selain aku dan tukang becak.
Seperti biasa dia duduk di belakang warung dengan muka melas. Kadang sendirian kadang ada temennya. Awalnya sih aku merasa malu makan di warung yang rupanya seperti itu. Menu yang sederhana di wadahi dengan wadah-wadah yang lebih sederhana dari menunya itu. Kalau cuaca pas panas dan angin kencang debu tidak terelakkan dan beberapa kali penutup minuman terbang. Kerupuk yang tinggal gigitan terakhir yang orang bilang tinggal madunyapun sempat membuat aku jengkel karena terbang bersama angin. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya ketawa kecil melihatnya terbang yang tak mungkin aku ambil lagi. Dan aku tidak pernah dapat gantinya. Ia hanya menunduk dan pura-pura tidak tahu. Tapi sudahlah.
Seperti biasa, aku tanya dulu apakah nasinya masih ada atau habis. Dan seperti biasa pula ia menjawab.
“Oh, takseh wonten mas, kanton sambelan purun?” dengan santai.
“Nggehpun mboten nopo-nopo,” jawabku sembari tersenyum.
“Wis entek mas, terakhir iki,” tambahnya.
Aku hanya tersenyum. Beberapa kali aku makan dia selalu bilang ini terakhir. Sepertinya memang benar aku pelanggan terakhir. Atau jangan-jangan ia memang menunggu aku. Setelah itu ia berkemas-kemas. Tak seperti biasanya aku diam saat makan atau hanya menjawab enggeh saat ia berusaha mengajak aku ngobrol, kali ini aku menimpali obralan tersebut.
Setelah ibu warung itu menyuguhkan sepiring nasi dengan porsi kuli lengkap dengan telur, tahu, terong dan sambel, ia pun kembali duduk. Aku bilang, “Bu gak pake sendok, pake tangan aja…”
“Oh pake tangan, yach monggo…”
Aku tunggu air kobokannya, kok gak diberi-beri kataku. “Bu airnya...?” tanyaku.
“Loh langsung aja mas pake itu,”
Ooh alah…pake air minum di teko air putih maksudnya. Ya sudah aku tuang satu gelas, lalu aku pake basu tanganku. Beberapa saat ia tanya.
“Minum apa mas, teh ta?”
Ia selalu menawari aku minum teh padahal aku pinginnya murah, air putih aja. Tapi air putihnya abis dipake basuh, ya minum teh akhirnya.
“Yach, air putihnya abis gini, ya teh dah…’
Ia pun segera buatkan aku teh dan temannya mulai mengajak ngobraol aku dengan kalimat pembuka di mana aku tinggal.
“Kos di mana mas?” tanyanya polos.
“Ngontrak di sini di rumahnya pak Moel, dekat rental itu gang lima,” jawabku santai sambil menujuk arah.
“Oh ngontrak…berapa satu tahun mas?”ia menimpali jawabanku
“Lima juta per tahun bu. Ini sudah habis, saya menyewa dua tahun,” jawabku.
“Oh, kok mahal yach. Tapi mungkin memang segitu yach soalnya dekat jalan besar. Berapa kamar mas?” lanjutnya seolah mencoba mencocokkan harga dengan ruang yang di kontrakkan.
“Satu kamar sih bu. Tapi karena saya pakai untuk buka usaha, jadi mungkin itu yang membuat mahal,” sahutku.
“Oh, iya pantesan.” Jawabnya singkat sambil menoleh ibu warung.
Saya melanjutkan makan sambil mikir-mikir kenapa sudah 4 bulan diwisuda sampai sekarang belum juga dapat kerja yang pas. Melamar kesana kemari, habis puluhan amplop dan juga legalisiran ijasah tapi hanya satu yang dipanggil untuk interview. Itupun hanya sebagai marketing sebuah bank swasta dengan tidak ada gaji tetap tapi hanya komisi saja 20% dari pembukaan tabungan jika kita mendapatkan nasabah. Wah, susah sekali. Sudah bangga-bangga sudah diwisuda dari universitas terkenal sekelas Unair, tapi sama saja seperti lulusan universitas lain yang jauh lebih tidak terkenal, susah dapat kerja. Ternyata mengandalkan nama besar kampus dan IPK bagus tidak menjamin mudah mendapat kerja. Kakak kelasku saja, perempuan lulusan terbaik tahun lalu belum juga dapat kerja sampai sekarang. Tidak tahu. Mungkin negara ini sudah bangkrut. Bukannya aku menggunjing bangsa sendiri, tapi inilah kenyataannya. Mereka bilang, “Bangsa kita ini bangsa yang besar, subur, gemah limpah loh jinawi,” tapi buktinya pengangguran makin meningkat, banyak lulusan baik SMU maupun universitas kian tidak tertampung.
“Loh, masnya kuliah atau kerja to?” celetukya memecah gumam otakku.
“Saya kuliah sambil kerja bu. Buka usaha sendiri.”jawabku.
“Dimana, di Unair yach mas?Usaha apa memange? Wah pinter yach masnya ini,” pujinya sambil menoleh ibu warung.
“Iya bu, saya kuliah di Unair dan barusan lulus. Kemarin sempat usaha membuka rental komputer, sudah dua tahun. Tapi sekarang sudah tutup. Kontrakannya habis.” Jawabku lagi.
“Iya, memang jaman sekarang ini kudu pinter-pinter cari duit. Ga usah isin-isinan, lek isin-isin sido gak mangan temenan,.” timpal ibu warung dengan bahasa Jawa. “Opo maneh saiki nggolek kerjo soro, bensin mundak, trus barang-barang podo larang. Beras larang, lengo gas yo larang. Ooh..yoopo iki…?” keluhnya sembari menatap temannya dan juga aku.
“Iyo mbak yu. Tapi arek saiki pinter-pinter. Yo kuliah yo kerjo,” tambah temen bu warung mengafirmasi pendapat bu warung. “Saya itu seneng lihat anak-anak kuliah itu mas. Anak-anak perempuan itu, kadang di kos-kosan ngerjakan tugas bareng. Pintar-pintar kelihatannya. Kalau saya dulu tidak sekolah. Sekolah cuma sampai kelas dua SD lalu berhenti karena di ajak orangtua merantau ke Surabaya ini mas. Sampai di sini juga tidak sekolah, karena harus membantu orang tua ke pasar. Tapi yang penting sudah bisa membaca dan berhitung mas,” kenang perempuan paruh baya dengan pakaian kusut itu.
“Loh, ibu memang asalnya dari mana dan di sini punya kos-kosan ta?” tanyaku simpati dengan ceritanya.
“Oh, saya bukan asli Surabaya, saya dari Nganjuk mas. Tapi sudah lama di sini sejak tahun 1970. Nggak mas, nggak punya kos-kosan. Lah, saya seminggu dua kali kan nyuci dan strika pakaian di rumah Bu Jenny, itu di gang tiga dan juga anak-anak kosnya itu. Jadi, saya tahu anak-anak itu belajar di teras,” jelasnya dengan sedikit senyum.
Tidak terasa sepiring nasi ukuran kuli sudah aku habiskan. Kenyang sekali rasanya perutku. Enak sekali walau dengan lauk seadanya. Setelah nasi itu habis aku tidak langsung pulang. Sambil menghabiskan teh manisku yang masih tersisa, aku bergumam sendiri dengan kondisiku yang masih belum dapat pekerjaan.
Udara bersemilir segar sehabis diguyur hujan. Dan tidak terasa pula sudah 20 menit aku di warung itu sambil ngobrol dengan dua perempuan paruh bayah itu ke sana ke mari. Mulai dari sejarah Unair kampus B yang dulunya adalah sawah sawah, jalan Karangmenjangan yang banyak dikenal orang luar kota Surabaya dengan mengatakan rumah sakit Dr. Soetomo adalah rumah sakit Karangmenjangan-karena memang berada di jalan Karangmenjangan-kanan kirinya dulu juga sawah, penggusuran PKL di berbagai tempat di kota Surabaya; seperti pasar krempyeng di jalan Karangmenjangan ini yang menjadi cikal bakal pasar mojo hingga sekarang ini, adalah hasil relokasi dari penggusuran pasar Karangmenjangan, hingga persoalan-persoalan kontemporer keadaan ekonomi, sosial dan politik. Misalnya krisis ekonomi yang membuat barang kebutuhan pokok semakin mahal, pengangguran semakin membengkak, namun gaya hidup masyarakat semakin terlena termakan iklan dan sinetron yang hanya menampilkan hidup kemewahan, enak-enakan dengan kondisi yang serba ada yang sebenarnya sangat kontradiktif dengan kenyataan yang ada.
Belum lagi sikap para wakil-wakil rakyat yang semakin hari semakin tidak bisa menjadi wakil yang pantas untuk dicontoh dan anut rakyat seperti korupsi dengan berbagai cara, tidur waktu sidang atau rapat, bolos waktu sidang, terpergok main wanita, obat-obatan dan lain sebagainya. Apalagi sekarang akan ada pemilihan anggota legislatif baru. Selain makin banyak wajah baru, wajah-wajah lama juga masih muncul. Mereka semua berlomba-lomba ‘menjual diri’ supaya dibeli masyarakat dengan produk-produk janji yang menarik dengan garansi seratus persen kalau masyarakat membelinya. Mereka juga membuat display chasing; foto- foto mereka secantik dan seganteng mungkin. Mereka juga tidak malu untuk menjajakan diri dengan turun ke jalan, dor to dor, memberikan castback (sogok/money politic), ikut kegiatan kemasyarakatan, menggelar acara dangdutan yang banyak disuka masyarakat dan lain sebagainya yang tidak biasa mereka lakukan. Semua itu dilakukan hanya untuk meraih simpati agar masyarakat membeli produk kampanye janji mereka sehingga mereka memperoleh tiket untuk masuk ke gedung dewan yang penuh kemewahan. Lantas mereka lupa (melupakan) produk yang telah mereka promosikan dan garansi selama masa kampanye tersebut.
Tapi, masihkah masyarakat akan tertipu untuk kesekian kalinya dengan mulut manis para sales janji-janji palsu, marketer-marketer penipu, agen-agen caleg? Semoga tidak.
Beberapa hari yang lalu aku naik angkot duduk didepan sambil ngobrol dengan sopir. Katanya tidak akan memilih siapa-siapa, percuma. Kalaupun mereka kasih uang, dia akan ambil uangnya aja tapi tetap tidak milih. Bahkan pemilihan kepala daerah kemarin ia juga tidak memilih. Dia cuma ambil uang dan sembakau yang diberikan saja. Rupanya, tidak hanya sopir angkot itu aja yang berpikir demikian. Sopir taksi, penjual pecel langgananku dekat kampus, PKL di taman Bungkul, dan bahkan guru olah ragaku SD saat ketemu bayar listrik ketika aku pulang kampung kemarin juga berpendapat yang sama. Yach, semoga sikap apatis dan apriori mereka benar-benar berarti. Daripada memaksakan memilih tapi ujung-ujungnya hanya tertipu oleh chasing foto-foto cantik dan ganteng saja.
Wah, rupanya jam dinding di kontrakanku menunjukkan pukul tiga lebih sepuluh menit. Aku hanya tersenyum, kenapa ibu warung itu yang katanya hanya SD nggak lulus juga bisa dan nyambung diskusi dengan aku yang barusan lulus sarjana tentang masalah kekinian. Ternyata, mengenali masalah yang terjadi di negara ini tidak susah – susah banget. Tidak butuh pendidikan tinggi. Atau mungkin masalah dan tingkah pejabat kita yang kebangetan sehingga mudah-mudah saja mengenalinya.
“Saya suka sekali nonton berita daripada nonton sinetron. Saya juga sering baca koran setelah menjemur pakaian di rumah Bu Jenny. Saya jadi tahu apa-apa yang terjadi mas,” beberapa penggal kalimat sebelum saya pamit meninggalkan warung tadi. Pada pemilihan kepala daerah kemarin ia memilih dan pemilihan legislatif mendatang ia juga akan memilih lagi.
Semoga media masih bisa mencerdaskan pembacanya. Dan para (calon) pejabat bisa menjadi secerca harapan bagi masyarakat dengan secerca kepercayaan yang diberikan seperti ibu warung ini. Kalau bisa!@